Beranda | Artikel
Kitabul Jami - Bab Adab - Hadis 2 - Pandanglah Orang yang di Bawahmu dalam Masalah Dunia
Kamis, 14 November 2019

Hadits 2 – Pandanglah Orang yang di Bawahmu dalam Masalah Dunia

Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc, MA

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي اللّه عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صلّى اللّه عليه وسلّم اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

Dari Abū Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah kepada yang di bawah kalian dan janganlah kalian melihat yang di atas kalian, sesungguhnya hal ini akan menjadikan kalian tidak merendahkan nikmat Allāh yang Allāh berikan kepada kalian.” (HR Muslim No. 2963)

Pembaca yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Hadits ini mengajarkan kepada kita agar dalam masalah dunia hendaknya kita melihat ke bawah. Bagaimanapun kekurangan yang ada pada diri kita dalam masalah dunia, pasti masih ada orang lain yang lebih parah daripada kita. Lihatlah kita sekarang dalam keadaan sehat, alhamdulillāh. Kalau kita melihat ke bawah, betapa banyak orang yang sakit, banyak orang yang terkapar di tempat tidur tidak bisa bergerak karena sakit. Kemudian juga, betapa banyak orang yang cacat yang lebih parah dari kita. Bahkan jika kita sedang sakit pun, masih ada yang lebih parah sakitnya daripada kita. Senantiasa pasti ada yang lebih menderita daripada apa yang kita rasakan. Kalau kita selalu melihat ke bawah dalam masalah kesehatan saja, maka kita akan senantiasa bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla atas nikmat sehat yang diberikan kepada kita.

Senantiasa bersyukur bukan perkara yang mudah, oleh karenanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Hanya sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)

Kita berdo’a semoga Allāh menjadikan kita termasuk dari hamba-hamba Allāh yang sedikit tersebut.

Ingatlah bahwa kekayaan harta bukanlah segala-galanya. Sungguh kesehatan adalah kekayaan yang sangat bernilai dan mahal, yang banyak diimpikan oleh orang-orang kaya harta yang terkapar di rumah sakit. Namun kita sering lupa dengan nikmat kesehatan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Dua kenikmatan yang banyak orang tertipu di dalamnya yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6.412)

Jika nikmat kesehatan belum bisa kita syukuri dengan baik, sementara mata kita sudah melirik kepada kenikmatan-kenikmatan harta yang dimiliki oleh tetanga-tetangga atau teman-teman kita, maka kapankah kita bisa bersyukur kalau begitu caranya?

Maka, di antara hal yang membuat kita senantiasa bersyukur adalah melihat ke bawah dalam masalah dunia, termasuk masalah harta. Misalnya kita merasa mempunyai kendaraan yang kurang bagus. Namun lihatlah, masih banyak orang di bawah kita yang kendaraannya lebih jelek daripada kendaraan kita. Dan bisa jadi, masih banyak orang yang hanya memiliki motor butut atau memiliki sepeda kayuh tua, atau bahkan masih banyak orang yang hanya bisa berjalan kaki ke mana-mana karena ia tidak memiliki kendaraan sama sekali.

Maka dalam hal dunia kita semestinya melihat ke bawah, jangan melihat ke atas! Karena kalau kita melihat ke atas, maka keinginan terhadap dunia tidak akan ada habisnya. Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk melihat ke atas dalam masalah dunia.

Keinginan terhadap dunia tidak akan pernah ada habisnya. Orang yang mencari dunia akan senantiasa haus akan dunia. Terkadang kita heran ketika melihat ada seorang yang sudah tua, umurnya sudah 60 tahun, 70 tahun, atau bahkan 80 tahun, namun masih sibuk tenggelam dalam urusan dunia.  Di usia senjanya ia masih memikirkan ini dan itu. Lalu kapan dia akan beristirahat? Kapan dia kan menikmati dunianya? Sementara dia terus mencari dunia dan demikian terus kehidupannya?

Mungkin kita heran, tapi dia sendiri tidak heran. Kenapa? Karena memang tidak ada batas terakhir dalam masalah kepuasan dunia. Jika seseorang telah mendapatkan sesuatu dari dunia, dia masih akan mencari yang lain lagi. Demikian seterusnya. Karena dunia itu ibarat air laut yang asin. Semakin ditelan, maka akan semakin membuat haus seseorang. Keinginan terhadap dunia baru akan berhenti jika seseorang telah meninggal dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ

“Seandainya anak Adam memiliki 2 lembah harta maka dia akan mencari lembah yang ke-3 dan dia tidak akan berhenti kecuali kalau pasir sudah dimasukkan dalam mulutnya.” (HR. Bukhari no. 6436, dari shahābat Ibnu ‘Abbas)

Oleh karena itu, dalam masalah dunia, kita diperintahkan untuk melihat ke bawah agar kita senantiasa bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Berbeda halnya dengan masalah akhirat. Dalam masalah akhirat, kita diperintahkan untuk melihat ke atas. Allāh mengajarkan kita untuk bersemangat dalam masalah akhirat. Hal ini ditunjukan oleh perintah Allāh kepada kita untuk senantiasa memohon di dalam shalat-shalat kita dengan mengatakan,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ

“Ya Allāh, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.”

Siapakah orang-orang yang diberi nikmat itu? Mereka adalah nabiyyīn wa shiddiqīn wasy syuhadā wash shālihīn. Jadi jalan lurus yang kita minta dalam setiap shalat kita itu tidak lain adalah jalannya para Nabi, para orang shidiq, para syuhada, dan orang-orang shalih.

Kita disuruh untuk melihat ke atas dalam masalah akhirat, yaitu dengan senantiasa meminta petunjuk ke jalan yang pernah ditempuh oleh orang-orang yang hebat seperti para Nabi, para shiddiqīn, para syuhada, para shālihīn.

Ayat lain yang menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk melihat ke atas dalam masalah akhirat adalah firman Allāh,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Dan untuk yang demikian (yaitu kenikmatan-kenikmatan surga), maka hendaknya orang-orang yang berlomba, berlomba-lombalah.” (QS. Al-Muthaffifīn: 26)

Dalam masalah surga dan berbuat kebajikan maka Allah menyuruh kita berlomba-lomba. Sebagaimana firman Allāh,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148)

Dalam ayat yang lain Allah menyuruh kita untuk cepat dan berpacu. Allah berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ

“Berlomba-lombalah untuk meraih ampunan Allāh. Dan berlomba-lombalah untuk segera meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS. Āli ‘Imrān: 133)

Dalam masalah kebaikan dan dalam masalah agama, seseorang hendaknya senantiasa melihat ke atas agar dia tidak cepat merasa puas dengan amal yang dan miliki dia tidak merasa ujub (merasa bangga).

Kesimpulannya, kita diperintahkan untuk qona’ah dalam masalah dunia dan dianjurkan untuk tidak cepat merasa puas dalam masalah akhirat.  Bukan sebaliknya, dalam masalah dunia kita melihat ke atas sehingga tidak pernah qona’ah  dan dalam masalah agama melihat ke bawah sehingga qona’ah dan merasa puas dengan kondisi agamanya meskipun berkualitas rendah.

Maka sangat tercela jika seseorang dalam masalah dunia tidak pernah puas, melihat ke atas terus, sudah punya mobil masih bernafsu kepada mobil yang mewah, iri dengan tetangganya, dengan teman-temannya, dan seterusnya. Sementara dalam masalah agama ia justru melihat ke bawah. Dia mengatakan, “Ah, alhamdulillāh saya sudah shalat, masih banyak orang yang tidak shalat.”

Benar, memang masih banyak orang yang tidak shalat, dan kita bersyukur kepada Allāh karena menjadi golongan orang yang mendirikan shalat, tetapi lihatlah ke atas, agar dirimu merasa penuh kekurangan, karena masih banyak orang-orang yang lebih hebat darimu sehingga engkau terpacu untuk mencari yang lebih dalam masalah agama.

Hendaknya kita berusaha mencapai kedudukan setinggi mungkin dalam masalah agama. Bahkan jika kita meminta surga,  mintalah surga yang paling tinggi, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَأَعْلَى الْجَنَّةِ

“Jika engkau minta surga maka mintalah surga Firdaus, surga yang paling tengah dan yang paling tinggi.” (HR. Al-Bukhari)

Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk memiliki himmah ‘āliyah (semangat yang tinggi) di dalam masalah agama dan agar kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki sekarang.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan kita orang-orang yang memandang ke bawah dalam masalah dunia dan menjadikan kita orang-orang yang memandang ke atas dalam masalah agama.

Peringatan

Sebagian ulama menyebutkan bahwa jika seseorang yang miskin memandang ke atas, yaitu kepada orang yang jauh lebih kaya darinya, dengan pandangan yang jernih, maka ia pasti akan mendapati bahwa dirinya ternyata memiliki nikmat yang tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nikmat harta yang dimiliki oleh si kaya tersebut.  Bisa jadi ia mendapati bahwa si kaya dengan hartanya yang melimpah harus merasakan berbagai penderitaan yang membuat hidupnya tidak tenang, seperti sakit yang datang silih berganti, tekanan hidup yang tinggi, kekhawatiran akan kehilangan hartanya, dan lain-lain.

Bisa jadi orang yang hartanya melimpah hidupnya tidak tenang karena senantiasa memikirkan pekerjaannya dalam rangka mencari dan mempertahankan kekayaan.  Bisa jadi ia juga dipusingkan dengan bagaimana menyimpan dan membelanjakan hartanya, dan seabrek permasalahan lain yang tidak menimpa orang-orang yang miskin.  Bahkan bisa jadi si miskin dapat makan enak dengan sembarang makanan dan tidur pulas di sembarang tempat, sementara si kaya harus memilah-milah makanan dengan kadar tertentu demi menjaga kesehatannya dan sulit tidur karena permasalahan harta selalu memenuhi otak dan pikirannya. Maka, meskipun ia telah berbaring di ranjang yang empuk dan mahal, tetapi ia tidak kunjung bisa tidur nyenyak, sedangkan si miskin  yang berbaring di tikar lusuh dapat dengan nyaman tidur karena pikirannya terbebas dari beban-beban yang memenuhi kepalanya, jika si miskin adalah orang yang beriman dan berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Artikel asli: https://firanda.com/3657-kitabul-jami-bab-adab-hadis-2-pandanglah-orang-yang-di-bawahmu-dalam-masalah-dunia.html